Larangan Memulai ISL Merusak Sepak bola Indonesia

Ketua Umum PSSI, Djohar Arifin Husin bersama PT Liga Indonesia (PT LI) dan 18 klub yang ada di kompetisi Indonesia Super League (ISL) mendatangi Gedung Kompleks Parlemen untuk bertemu dengan Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah dan Ketua Komisi X Teuku Riefky Harsya.

Kedatangan pengurus PSSI, PT LI dan klub ISL sebagai reaksi dari kebijakan Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) yang tidak menerbitkan izin menggelar pertandingan karena mayoritas klub dianggap belum bisa memberikan jaminan, bahwa krisis finansial tidak akan kembali terulang di musim ini.

Djohar menuturkan, sepakbola tanpa kompetisi tidak ada gunanya. Belum lagi, banyak kerugian dari kebijakan pemerintah yang melarang terselenggaranya gelaran sepakbola tertinggi di Indonesia itu.

“Bahwa banyak kerusakan, kerugian bagi klub, terlebih jika ditunda biaya akan banyak sekali, akomodasi, konsumsi dan semua ditanggung pengurus, berapa lama tidak tahu, pemain dirugikan durasi kontrak, semua dirugikan,” kata dia di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (23/2/2015).

Djohar menambahkan, BOPI selama ini tidak pernah secara langsung mendatangi klub-klub di Indonesia untuk mengecek kesiapan mereka dalam berkompetisi.

“BOPI tidak pernah datang ke klub, apa yang diperlukan tapi langsung melarang, luar biasa merusak. Timnas juga tertunda karena pelatih hanya ambil dari kompetisi, pemain belum ada. Kerusakan dahsyat sekali,” tegasnya.

Menanggapi aduan tersebut, Fahri menuturkan bahwa ada kesalahan konsep mendasar yang terjadi di pemerintahan. Menurutnya, Menpora tidak bisa mengintervensi sektor yang tidak ada uang negara di dalamnya.

“Pasar itu punya mekanisme kerja, ada hukum yang lebih kejam, kompetisi atau mati. Ini tidak ada urusan menteri, tidak ada uang negara di dalamnya, bahkan dia harus berterima kasih karena aktifnya perusahaan di klub olahraga, menghibur secara masif dan murah,” beber Fahri.

Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu meminta agar BOPI fokus pada rekomendasi yang bersifat peraturan, bukan intervensi.

“Beri rekomendasi ke presiden bukan membuat keputusan melarang kegiatan bisnis yang bejalan, kecuali ada komplen publik, ini kan tidak ada,” ungkapnya.

Meski begitu, Fahri mengaku tidak bisa mengintervensi keputusan di Kementerian, terutama untuk hal yang tidak dibahas dalam Rapat Paripurna.

“Kalau rekomendasi, kita tidak bisa karena tidak punya kekuasaan membentuk keputusan. Itu bisa dieksekusi kalau UU atau regulasi melewati Paripurna dewan. Saya mengusulkan ini harus ada yang bicara ke Menpora,” simpul Fahri.